TUGAS
KEWIRAUSAHAAN
“SEORANG KEWIRAUSAHAAN YANG SUKSES”
2DF01
Nama kelompok :
-
Elvi Widya H (53214490 )
-
Rizky Amelia
Putri (59214670)
-
Vivianti Ayu
Rizki (5C214105)
Ayam
Sabana
Awalnya masyarakat Indonesia mengenal
makanan itu dari perusahaan franchise asing, seperti McDonald, KFC atau yang
lainnya.
Tetapi siapa yang tahu juga bahwa ayam
goreng semacam itu kini sudah dikelola secara prefesional oleh pengusaha lokal,
bahkan rasa dan penampilannya tidak kalah dengan produk asing tersebut. Apa yang
menjadi daya tariknya?
Syamsalis, nama pengusaha profesional itu kini
sudah melejit dengan menyediakan tidak kurang dari 8.000 ekor ayam atau sekitar
72.000 potong ayam goreng setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan 900 outlet bermerek “Sabana” Fried Chicken
yang tersebar di beberapa kota mulai dari Lampung, Jabodetabek, Bandung,
Semarang, Solo, sampai Surabaya.
Soal
rasa, peraih penghargaan “Best Seller Business Opportunity 2010” ini sangat pas
dengan selera orang Indonesia. Apalagi adanya jaminan halal dan kualitas bahan
bakunya. Terbukti hampir di semua outletnya tidak pernah sepi dari pembeli.
Seperti halnya sukses usaha yang lainnya,
Sabana Fried Chicken yang dimulai tahun 2006 inipun dalam perjalanannya tidak
mulus-mulus amat. Pemilik usaha kelahiran Batu Sangkar Sumatera Barat ini
mengungkapkan bahwa sampai dengan tahun kedua, sangat sulit untuk mencapai 50
outlet.
Awal usahanya dimulai dari
keprihatinan Syamsalis melihat ibu-ibu rumah tangga yang tidak ada pilihan
ketika membeli ayam, di pasar atau tukang sayur keliling. Menurutnya mereka
tidak pernah mendapat kepastian akan kebersihan, kesehatan apalagi
kehalalannya. Dikatakannya setiap makanan yang dikonsumsi itu harus jelas dari
segala sisi. Kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi kesehatan ayam dan cara
memotongnya.
Dari
situlah muncul ide untuk menyediakan ayam yang memenuhi syarat bersih, sehat
dan melalui proses yang halal. Namun seiring dengan berjalannya waktu usahanya
berkembang tidak lagi menyediakan ayamnya saja tetapi sudah sebagai ayam
olahan, yaitu ayam yang dilengkapi dengan tepung terigu berbumbu dan tinggal
menggoreng saja.
Ide
ayam olahan inipun sebenarnya tidak muncul begitu saja. “Ketika itu ada seorang
teman yang mempunyai talenta meramu tetapi tidak cakap dalam menjual, kemudian
saya mengajak kerjasama dengan talenta masing-masing” kenang mantan karyawan
perusahaan distribusi terkemuka ini.
Mulailah mareka membuka dengan satu outlet,
kemudian karena banyak teman dan relasi yang berminat bergabung, mulailah
berkembang beberapa outlet. “Pemikiran waktu itu sebenarnya ingin membantu
meringankan beban teman-teman yang terkena PHK untuk bisa ikutan berjualan.
Ternyata lama kelamaan usaha itu disambut baik
oleh masyarakat, sehingga mau tidak mau sudah harus dikelola secara lebih
profesional. Maka dibuatlah sistem kerjasama kemitraan layaknya sebuah usaha waralaba atau franchise, walaupun
Syamsalis lebih menganggap usahanya ini sebagai sistem Business Opportunity
(BO), karena masih belum sepenuhnya menerapkan kriteria sebagai franchise.
“Sistem yang diterapkan di sini sebenarnya sederhana saja, sehingga tidak memberatkan
mitra
Disebutkannya bahwa sistem yang diterapkan
saat ini sangat sederhana, nilai investasinyapun relatif tidak terlalu besar
dan sangat terjangkau, karena tidak ada royalti fee, franchise fee, bahkan
mitra tidak perlu harus membuat laporan keuangan kepada manajemen Sabana.
Para
mitra cukup dengan beli putus di stok poin (mitra distribusi) yang ditunjuk,
kemudian dagang, dapat uang untuk kemudian dibelanjakan lagi dengan harga yang
relatif murah dan stabil karena tidak ada macam-macam fee. Semua sudah
disiapkan, mulai dari ayam, tepung bumbu, minyak goreng sampai sambal saosnya
semuanya standar, mereka tinggal aduk tepung ayamnya di outlet digoreng lalu
dijual. Sederhana sekali. Dengan cara yang cukup praktis dan sederhana seperti
ini, nampaknya siapapun bisa ikut bergabung.
Walaupun demikian untuk menjadi mitra tetap
harus melalui proses pendaftaran di manajemen pusat Sabana. Kemudian mereka
disurvey untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai kelayakan usahanya,
terutama jangan sampai mengganggu mitra yang sudah ada. Baru setelah itu mereka
direkomendasikan untuk melakukan transaksi di stok poin yang ditunjuk.
Berdasarkan perhitungan, seorang mitra dapat mencapai BEP dengan target minimum
10 ekor ayam atau dapat mencapai omset minimal Rp 500 ribu per harinya dalam
waktu sekitar 7 bulan.
Mengenai harga baik dari stok poin ke mitra
maupun mitra ke konsumen dijamin sama untuk seluruh Indonesia, karena manajemen
Sabana bertanggungjawab menahan jika terjadi lonjakan harga bahan baku. Sehingga
di tengah ketatnya persaingan mereka masih bisa eksis.
Hubungan Sabana dengan stok poin pun sifatnya
dagang, yaitu jual beli putus, yang walaupun kepada mereka ada beberapa
kebijakan fee khusus. Untuk menjaga hubungan usaha yang baik, stok poin tidak
boleh melayani di luar mitra yang sudah terdaftar. Jika satu stok poin sudah
mencapai 250 – 300 ekor, maka akan dibuka stok poin baru.
Perusahaan dengan total konsumsi 120 bal
terigu Lencana Merah setiap harinya itu, kini sudah mengantongi sertifikatm
halal dari MUI, dan mendaftarakan merek dagangnya di Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual (HaKI), Kemenkumha
RI.
Daftar
Pustaka :
Brownies Amanda
Brownies ini disebut salah satu oleh-oleh khas Bandung
karena makanan ini pertama kali hadir dan didirikan di Bandung. Brownies Amanda
mempunyai cita rasa yang empuk dan manis dengan adonan sangat sesuai serta mutu
dan kualitas yang senantiasa terjamin. Itulah ciri khas dari Amanda Brownies
yang membuat konsumen tergiur ingin selalu membelinya.
Ny. Sumiwiludjeng, ialah orang dibalik suksesnya kue
brownies kukus Amanda. Wanita yang kini berusia 69 tahun ini adalah perantau di
tanah pasundan. Kesuksesannya didapat
berkat kerja kerasnya. Dia terkenal ulet serta kreatif membidik selera warga
tempatnya tinggal. Banyak orang akan mengira pemilik brownies kukus lezat
tersebut si Amanda sendiri. Tetapi ternyata, nama tersebut adalah sebuah
singkatan "Anak Mantu Damai", itulah harapan terhadap ke empat
anaknya nanti; Joko Ervianto, Andi Darmansyah , Sugeng Cahyono, dan juga Rizka
Kurniawan, yang diharapkan rukun selalu. Wanita kelahiran Jombang, Jawa Timur,
1 Agustus 1940 ini, menyebut brownies miliknya memang berbeda yaitu dikukus
meski sama- sama terbuat dari coklat.
Bukan berlatar belakang pebisnis, ia hanya mengikuti suami
untuk hijrah ke kota Bandung. Suaminya merupakan pegawai PT. Pos Indonesia,
membuat keluarganya selalu berpindah-pindah. Awalnya, ia dipindah tugaskan ke
Bogor selama tujuh tahun, lalu terakhir kembali ke kota Bandung lagi. "Itu
setelah lulus Akademi Pos, Telephon, dan Telegram (PTT) dan menikah pada 1964.
Setelah itu pindah ke Bandung, Magelang, dan saat akan pensiun kembali lagi
dinas di Bandung." ungkapnya. Di setiap tempat keluarganya ditempatkan, Bu
Sum selalu membuka bisnis kecil yaitu membuat kue. "Usaha kue ini saya
dirikan sebenarnya agar bekal ilmu yang saya peroleh dari sekolah jurusan tata
boga tidak sia-sia. Tetapi karena tinggalnya tidak pernah lama, maka tak bisa
besar.
Setiap mau besar, eh bapak dimutasi." kenang nenek enam
cucu ini. Usaha ini berawal pada tahun 1999, beliau dan salah seorang mantunya
yang juga hobi masak, mencoba sebuah resep bolu kukus coklat yang mereka dapat
dari seorang kolega. Berkat keahlian mereka, mereka malah menemukan resep
brownies kukus. Menemukan resep brownies yang unik, ketika itu brownies
biasanya dimasak dengan cara dipanggang, membuat ibu Sumi tertarik menjualnya.
Penjualan pun dimulai, putranya lah yang mencoba memasarkan produknya ke
tetangga dan ke kolega mereka. Pada tahun 2000 Ibu Sumi dan anak mantunya tadi
sepakat membuka sebuah kios kecil di kawasan Metro Bandung. Namun musibah
datang, toko mereka kebakaran. Hal ini memaksa ibu Sumi memindah tokonya ke
daerah Tata Surya Bandung.
Meski harus mengalami
ujian berat, mereka pantang menyerah. Malah usaha mereka semakin sukses. Yang
ada justru sering kali pelanggan harus kecewa karena kehabisan brownies.
Melihat perkembangan situasi, pada tahun 2002, Mereka mulai menjalankan usaha
ini dengan lebih serius. Membuka toko yang lebih besar di daerah Rancabolang.
Kemudian juga mematenkan produk brownies kukusnya dengan nama Brownies Amanda.
Kini, wanita yang justru tak mau cucunya bernama Amanda ini telah berinovasi
hingga memiliki 20 varian rasa brownies dan memiliki 19 cabang serta pabrik
pembuatan kue di wilayah Bandung, Surabaya, Jogjakarta, dan Medan, memiliki 470
orang karyawan. Pabrik tersebut disiapkan guna mensuplai kebutuhan di setiap
toko- tokonya. Jarak pabrik dan toko pun sudah benar- benar diperhitungkan
matang yakni empat jam perjalanan ke toko di pusat perkotaan.
Daftar Pustaka :
Yongki Komaladi
Sepatu, alas kaki ini sudah menjadi
kebutuhan tiap orang. Sepatu digunakan untuk acara formal, pesta dan kegiatan
lainnya. Sepatu juga menjadi penunjang penampilan selain busana yang dikenakan.
Banyak brand sepatu berkualitas dari luar negeri, meskipun demikian kita juga
punya banyak brand nasional yang berkualitas. Termasuk salah satunya adalah
sepatu Yongki Komaladi.
Yongki Komaladi lahir di Jakarta pada
tanggal 18 Agustus, anak dari pasangan Liauw A Ho dan Kwok Pit Tjong ini hampir
memiliki 19 saudara kandung, namun ibunya keguguran lima kali. Maka ia
adlahanak ke-14 dari 15 bersaudara. Yongki mempunyai 7 kakak laki-laki dan 6
kakak perempuan juga seorang adik perempuan. Nama asli Yongki adalah Kwok Joen
Sian. Saat kecil ia dipanggil Ayin. Dulu setiap keluar rumah, ia suka sekali
memakai gelang emas milik kakaknya yang bertuliskan nama sang kakak, Yongki.
Akhirnya, teman-temannya memanggilnya Yongki. Jadilah nama itu melekat pada
dirinya. Dengan tujuan agar memiliki pembeda dengan Yongki lainnya, ia menambahkan
Komaladi sebagai pelengkap.
Yongki kecil tinggal di rumahnya di kawasan
Bilangan, Jakarta Pusat. Yongki belajar formal di SD Petojo, SMP PAX
Kemakmuran, dan SMU Katolik Ricci. Saat kecil, orangtuanya terbilang kaya
dengan usaha keluarga yang bergerak di bidang bahan baku bangunan. Tamat SMU
tahun 1976-1977 Yongki sekolah lagi ke Singapura, di Swiss Cottage Secondary
School dan Stamford College Singapore. Di sana Yongki belajar dan mendalami
ilmu bisnis manajemen. Saat belajar di Singapura, ibunya meninggal dunia.
Sekolah di Singapura terpaksa tak diteruskan. Sejak ibunya tidak ada, ia merasa
semuanya berubah. Kakak-kakaknya sibuk dengan urusan mereka masing-masing
karena mereka sudah beranjak dewasa dan menikah. Ia merasa, tak ada yang
memperhatikannya lagi seperti Ibunya. Kembali ke Jakarta, ia menata
cita-citanya lagi.
Selepas ibunya meninggal, Yongki memiliki
orang tua angkat. Orang tua angkatnya memiliki butik eksklusif di kawasan
bilangan Duta Merlin, Jakarta. Butik tersebut menjual barang-barang bermerek
internasional dari Italia juga Prancis.Tahun tersebut merupakan awal mula
masuknya produk fashion impor di Jakarta. Banyak pejabat, artis, dan tokoh
terkenal yang belanja ke butik milik orang tua angkatnya. Ia pun ditawari
pekerjaan sebagai penjaga butik. Tahun 1977 menjadi momentum pertama kali ia
bekerja di butik. Ia dituntut untuk dapat menghadapi para pembeli dari kalangan
atas. Dan dari sanalah nasib mempertemukan Yongki dengan dunia model.
Model pertama yang ia jajal adalah model
kacamata. Kala itu ada pengunjung yang juga bekerja di Optik Oculus. Ia meminta
Yongki menjadi model berdampingan dengan Ray Sahetapi. Setelah itu Yongki
memperoleh kesempatan berjalan di catwalk. Bersama dengan Pierre Bruno, Yongki
memeragakan busana milik seorang designer. Saat itu ia berumur 25 tahun. Untuk
memperdalam dunia modeling Yongki sempat kursus dengan Rudy Wowor. Selang
beberapa saat, ia mendapat tawaran fashion show di Taman Ismail Marzuki. Dari
sanalah karirnya berkembang. Ia pernah memperagakan busana rancangan (Alm.)
Irwan Tirta, Poppy Dharsono, Prayudi, juga Itang Yunazs. Yongki pernah tur ke
Asia dan Eropa bersama para desainer. Selain fashion show, ia juga melakukan
pemotretan. Sebagai usaha sampingan ia juga menjadi asisten-asisten para
designer saat di luar negeri. Ia juga pernah bermain film dan sinetron, salah
satunya Cinta Dibalik Noda bersama Meriam Belina dan Titi Dj. Sepuluh tahun
sudah Yongki menjalani dunia modelling. Ia pun mulai berpikir bahwa dunia model
tak bisa digeluti untuk jangka panjang.
Saat
umurnya mencapai kepala 3 pada 1990, untuk mengantisipasi kalau nanti sudah tak
laku lagi, Yongki pun banting setir. Karena hubungan yang baik dan pengalaman
yang relevan, Yongki bekerja di pusat perbelanjaan Ramayana dan Borobudur.
Yongki mundur perlahan-lahan dari dunia model. Dengan tetap menjalani fashion
show, Ia menjalani hari sebagai Chief Merchandiser yang fungsinya mengatur
pengembalian produk-produk busana. Karena gatal ingin berkarya, ia menuangkan
jiwa seninya dengan mendesain batik-batik lawas yang disulap jadi trendi, juga
kemeja dari potongan berbagai bahan yang dikombinasikan. Model pakaian tadi
sangat populer ketika itu. Ia pun melibatkan diri secara total di bagian
desain, promosi, foto produk, dan sebagainya.
Suatu saat, atasannya di pusat perbelanjaan
mengeluhkan kurangnya produk sepatu yang akan dijual. Dengan latar belakang
Yongki di dunia fashion, Yongki ditawari mendesain dan juga membuat sepatu.
Yongki berfikir hal itu menjadi kesempatan bagus untuk dicoba dan didalami.
Atasannya minta nama Yongki untuk nama merk sepatunya. Walau awalnya terkesan
tidak percaya diri dan juga narsis. Namun, karena terlanjur sudah menerima
tawaran tersebut, Yongki membulatkan tekad untuk mulai mendesain sepatu dengan
merk Yongki Komaladi. Dari sinilah embrio bisnis sepatu Yongki Komaladi
bermula. Tanpa background di bidang design dan pembuatan sepatu, Yongki memulai
usaha sepatu ini dengan modal kegigihannya dalam belajar otodidak.
Nama
Yongki Komaladi sempat mendapatkan cemoohan sebab dianggap terlalu sulit dalam
hal pengejaannya dan kurang komersil. Yongki mengaku sebelum membuat sepatu, ia
melakukan riset pasar terlebih dulu. Perubahan di lingkungan masyarakat selalu
diupdate untuk membuat rancangan sepatunya. Tawaran kolaborasi dari perancang
busana pun mulai mengalir karena sepatu Yongki dikenal simple dan aktual.
Perancang busana seperti Adrian Gan, Susan Budihardjo atau Sebastian Gunawan
telah menggunakan sepatu Yongki Komaladi sebagai pelengkap rancangan busana
mereka. Usahanya pun kini tergolong sukses. Dibalik kesuksesannya Yongki
seringkali mengikuti beragam show. Bahkan Yongki juga membina 80 lebih UKM di
Indonesia. Yongki berharap UMKM di Indonesia mempunyai produk berkualitas yang
produknya mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tak lagi mengandalkan
produk asing. Bicara masalah tren di masyarakat, Yongki melihat bahwa perubahan
yang sangat dinamis dialami di kehidupan masyarakat saat ini.
Gaya
hidup masyarakat yang telah mengikuti perkembangan teknologi diakui menjadi
salah satu penyebab terjadinya perubahan tren sepatu dengan sangat cepat. Ini
tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pengusaha sepatu. Pengusaha harus mampu
menciptakan design yang sesuai dengan calon pembeli. Seperti saat lingkungan
calon pembeli alias para masyarakat mengenal dunia yang simple maka design
sepatu bisa dibuat simple.
Sebaliknya saat masyarakat gemar dengan
warna warna berani dengan konsep tabrak warna maka pengusaha sepatu harus bisa
menghadirkan sepatu yang berwarna warna berani, seperti jingga, fuchsia, ungu,
biru dan grey. Kini selain sepatu, entah sepatu anak-anak yang dibeli label
Yongkids dan untuk kalangan dewasa, Yongki Komaladi juga menghadirkan produk
tas. Ada banyak pilihan dan model yang bisa dijadikan koleksi. Sepatu Yongki
Komaladi ini bisa anda temui di tokonya yang tersebar di Jakarta, Bandung,
Bogor, Surabaya dan kota lain di Indonesia.
Dan seperti apa yang diungkapkannya,
seorang yang terjun di bisnis sepatu harus selalu mengikuti perkembangan jaman
untuk tau apa yang diminati para konsumen.
Daftar
pustaka :
Warung Nagih (WARGIH)
Jakarta tidak harus fine dining atau
kuliner tradisional dengan cita rasa yang khas. Sebuah warung makan dengan menu
biasa, bisa menjadi legenda.
Malam untuk membuktikan keistimewaan tempat
nongkrong yang juga membuka cabang di wilayah Bogor. Suasana saat itu sudah
ramai dengan para pengunjung, rata-rata yang datang masih muda, seumuran anak
kuliah.
Target pasar kita memang anak-anak
nongkrong, yang masih kuliah sama first jobber, alias orang yang baru pertama
kerja. Kebanyakan dari sekitar wilayah sini, ada juga yang jauh-jauh dari
Jakarta Utara juga pernah, banyak deh.
Gunawan pun menceritakan sejarah awal mula
berdirinya Warung Nagih. Semua itu berawal dari kebiasaan mereka nongkrong
bareng karena pendirinya merupakan teman satu SMA. Dari kebiasaan jajan dan
nongkrong itulah yang membuat mereka memiliki ide untuk membuka warung sendiri,
serta memberi nama Warung Nagih.
Kita start 15 Maret 2012, kemudian pindah
ke Tendean sekitar akhir tahun 2012. Kita bikin Warung Nagih karena pengen
merubah mindset warung yang semula kotor, menjadi bersih dan enak buat
nongkrong. Kenapa Warung Nagih? Karena kita pengen yang datang ke sini selalu
ketagihan dan terus balik lagi
Zaman dulu, sebelum pindah ke lokasi
sekarang, Warung Nagih masih berupa gerobak kaki lima dengan 2 buah meja saja,
dan 2 orang karyawan. Kini, Warung Nagih sudah menempati lahan yang cukup luas
dan jumlah karyawan mencapai 60 orang. Keunggulan Warung Nagih terletak pada
variasi menunya yang bisa terbilang sangat banyak, mulai dari roti bakar,
pisang, roti maryam, hingga kini merambah ke pasta dan akhir tahun nanti pizza.
Bisa dibilang, kita ini pelopor roti bakar
dengan aneka toppng, sebelum semuanya ngetrend dan ikutan. Dulu kita sudah
bikin roti bakar dengan topping silverqueen, coklat herseys, honey star,
macam-macam pokoknya. Menu yang variatif ini mengikuti selera
dari pengunjung yang kebanyakan anak muda dan cenderung gampang bosan.
Setidaknya setiap 3 bulan sekali, Warung Nagih akan meluncurkan menu baru untuk
para pengunjungnya.
Untuk minuman, variasinya juga tak kalah
banyak. Harganya pun mulai dari belasan ribu rupiah untuk hidangan roti bakar
yang standar, untuk setiap topping berbeda dikenai tambahan harga. Semakin
banyak topping yang dipilih, maka harganya semakin mahal. Untuk minumannya ada
yang di bawah Rp 10.000, ada pula yang di atas itu, cukup terjangkau.
Cewek-cewek sih sukanya Green Tea, Taro,
Thai Tea. Pernah nih ada temen orang bule, pertama kalinya nyobain Taro.
Besoknya minta dibungkusin buat dibawa pulang ke bandara. Kalau yang cowok-cowok
sih sukanya yang simpel, Teh kalau nggak Milo.
Traveler yang penasaran ingin mencoba,
silakan datang ke Jl Tendean Kav 41, Jaksel, lokasinya tepat sebelum fly over.
Jam bukanya mulai pukul 16.00 WIB hingga tutup sampai tengah malam. Sebaiknya
Anda datang lebih awal, jika tidak ingin antre dalam waiting list karena
pengunjungnya sangat banyak setiap harinya.
Daftar
Pustaka :
Ayam Bakar Mas Mono
Menjadi office boy, tukang gorengan dan sales
adalah sederet pekerjaan masa lalu Agus Pramono yang akrab dipanggil Mas Mono
ini. Bisnis ayam bakar yang dirintisnya di tahun 2001 tak disangka meledak di
pasaran. Kini, setidaknya ia telah memiliki 20 cabang dengan omset puluhan juta
per hari serta melego franchisenya seharga 500 juta rupiah.
Cukup
sulit membayangkan masa lalu Mas Mono yang kini telah menjelma menjadi seorang
milyarder. Betapa tidak, belasan tahun yang lalu ia masih harus menjalani hidup
sebagai OB disebuah perusahaan. Bosan menjadi OB perlahan ia menata hidupnya
menjadi pengasong gorengan dari SD ke SD, dari kompleks ke kompleks dengan
berjalan kaki. “Ya, itulah masa lalu saya. Disaat saya menjadi OB, bapak saya
di desa meninggal. Saya tak bisa pulang karena tak ada uang. Itu tamparan keras
bagi saya. Dari situlah, akhirnya saya putuskan untuk keluar kerja,” kisah pria
kelahiran Madiun, 28 Agustus 1974 ini pelan.
Putus
kerja tapi hidup harus terus dilakukan, dengan modal seadanya ia mulai meniti
hidup dengan menjaja gorengan dari SD ke SD. Cukup lama ia melakoni profesi itu
sampai akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk mangkal. “Saya sewa tuh
lahan, karena jual gorengan tidak maksimal untungnya hanya 15 ribuann per hari,
saya beralih ke ayam bakar,” tuturnya. Dengan modal 500 ribu rupiah, ia mulai
berjualan 5 ekor ayam perhari.
Wangi
kepulan asap dari ayam bakarnya ternyata mampu menyedot pelanggan. Dari hari ke
hari, pelanggannya makin berlimpah. Bahkan, Mas Mono pun akhirnya mampu
menghabiskan 80 ekor ayam per hari. “Saya punya tempat mangkal pun itu anugrah
terindah. Saya serasa punya kantor sendiri, tidak harus mengasong lagi.
Alhamdulillah saya dikasih lebih, dari 5 ekor meningkat menjadi 10 ekor, begitu
seterusnya hingga mampu menjual ayam bakar 80 ekor per hari atau sekitar 380
potong. Dengan kondisi tempat masih di kaki lima itu sebuah pencapaian yang
luar biasa!” Ungkapnya.
Bencana Penggusuran
Naas
bagi Mas Mono, disaat bisnisnya sedang menanjak dan naik daun, bencana
penggusuran pun melanda. Ia dipaksa hengkang dari tempat mangkalnya. “Saat itu
saya benar-benar kelimpungan, bingung. Bagaimana tidak, di saat yang sama,
bisnis penjualan saya tengah laris-larisnya. Saya harus pindah kemana,
bagaimana dengan nasib 6 karyawan saya. Sebelum penggusuran itu tiba, saya
terus tanya-tanya lokasi ke setiap pembeli yang mampir, hingga akhirnya seorang
pelanggan menunjukkan tempat di Tebet,” beber ayah yang memiliki anak semata
wayang bernama Novieta ini.
Di
Tebet, kebingungan pun belum juga reda. Ia dihadapkan pada persoalan baru,
lokasi yang tidak strategis. Pria penyuka rujak cingur ini harus menata ulang
lagi bisnisnya. Dengan lokasi yang mojok dan tersembunyi itu, ia harus berjuang
agar pelanggan kembali ramai.
Tak
jarang iapun mengajak bekas pelanggannya ditempat dulu untuk mampir ke lokasi
barunya. Hasilnya, pelan tapi pasti berkat kegigihannya dan perjuangannya,
pelanggan pun terus berjejalan. “Itulah dinamikanya. Saat ini, Alhamdulillah
saya bisa menyewa tempat yang lebih besar. Bahkan, karena banyaknya pelanggan
hingga makan pun harus antre, saya juga membuka cabang baru di tempat yang tidak
terlalu jauh,” ujar suami dari Nunung ini.
Rupanya
ujian belum selesai juga menimpa dirinya. Di babak kedua dari kebangkitan
bisnisnya itu, flu burung menerjang, memborbardir omsetnya. “Dengan
merajalelanya flu burung, spontan penjualan pun merosot dan sepi. Dari situ
saya terus belajar untuk syukur nikmat hingga cobaan itupun berlalu,” ucap pria
yang kini telah mematenkan brand Mas Mono dibawah payung Panen Raya Indonesia
itu.
20 Cabang, Ribuan Ekor per Hari
Setelah
hampir 10 tahun berlalu, akhirnya sukses pun menghampiri. Dari satu cabang yang
didirikannya kini sudah beranak pinak menjadi 20 cabang yang tersebar
dibeberapa wilayah di Jabodetabek seperti Kalimalang, Pondok Gede, Ciputat,
Cileduk, dan daerah lainnya. Diakuinya, satu hari di setiap cabangnya bisa
menghabiskan sekitar 150-200 ekor ayam. “Tempatnyapun sudah kami tata menjadi
tradisional modern. Bahkan saya bercita-cita ingin menjadikan ayam bakar ini
market leader di dunia kuliner,” harapnya.
Mengenai
omset, jangan ditanya. Di setiap cabangnya per hari mampu meraup untung hingga
8 jutaan. Sukses dengann ayam bakar, Mas Mono pun merangsek ke bisnis lainnya
seperti bakso, catering, travel umroh dan haji dan lain-lain. “Karena saya
mengambil segmen semua lapisan masyarakat, jadi tempat saya bisa disinggahi
siapapun. Sehari ya bisa 200 orangan yang berkunjung. Harganya juga cukup
murah, hanya 13 ribuan per porsi,” jelas pria yang kini telah memiliki 400
karyawan ini.
Bahkan
bisnis ayam bakar yang dikelolanya kini sudah dikembangkan ke franchise. Dalam
waktu singkat, iapun berencana akan mengembangkan konsep franchisenya ke
berbagai daerah bahkan menembus pasar internasional. “ Untuk sementara, saya
fokuskan untuk menggempur Jakarta saja dulu. Kedepan saya akan kembangkan lagi
ke berbagai wilayah. Karena saat ini bagi saya kompetitor itu bukan lagi
penjual ayam sejenis melainkan seperti KFC dan lainnya,’ imbuh pria yang
menjual franchise-nya seharga 500 jutaan dan telah menyabet berbagai
penghargaan itu.
Daftar
Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar