Kamis, 29 Oktober 2015

Tugas Kewirausahaan 2






TUGAS KEWIRAUSAHAAN
 




“SEORANG KEWIRAUSAHAAN YANG SUKSES”









 
2DF01
Nama kelompok :
-     Elvi Widya H (53214490 )
-     Rizky Amelia Putri (59214670)
-     Vivianti Ayu Rizki (5C214105)


















 
Ayam Sabana







Awalnya masyarakat Indonesia mengenal makanan itu dari perusahaan franchise asing, seperti McDonald, KFC atau yang lainnya.
Tetapi siapa yang tahu juga bahwa ayam goreng semacam itu kini sudah dikelola secara prefesional oleh pengusaha lokal, bahkan rasa dan penampilannya tidak kalah dengan produk asing tersebut. Apa yang menjadi daya tariknya?

Syamsalis, nama pengusaha profesional itu kini sudah melejit dengan menyediakan tidak kurang dari 8.000 ekor ayam atau sekitar 72.000 potong ayam goreng setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan  900 outlet bermerek “Sabana” Fried Chicken yang tersebar di beberapa kota mulai dari Lampung, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Solo, sampai Surabaya.
Soal rasa, peraih penghargaan “Best Seller Business Opportunity 2010” ini sangat pas dengan selera orang Indonesia. Apalagi adanya jaminan halal dan kualitas bahan bakunya. Terbukti hampir di semua outletnya tidak pernah sepi dari pembeli.

Seperti halnya sukses usaha yang lainnya, Sabana Fried Chicken yang dimulai tahun 2006 inipun dalam perjalanannya tidak mulus-mulus amat. Pemilik usaha kelahiran Batu Sangkar Sumatera Barat ini mengungkapkan bahwa sampai dengan tahun kedua, sangat sulit untuk mencapai 50 outlet.

Awal usahanya dimulai dari keprihatinan Syamsalis melihat ibu-ibu rumah tangga yang tidak ada pilihan ketika membeli ayam, di pasar atau tukang sayur keliling. Menurutnya mereka tidak pernah mendapat kepastian akan kebersihan, kesehatan apalagi kehalalannya. Dikatakannya setiap makanan yang dikonsumsi itu harus jelas dari segala sisi. Kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi kesehatan ayam dan cara memotongnya. 

 Dari situlah muncul ide untuk menyediakan ayam yang memenuhi syarat bersih, sehat dan melalui proses yang halal. Namun seiring dengan berjalannya waktu usahanya berkembang tidak lagi menyediakan ayamnya saja tetapi sudah sebagai ayam olahan, yaitu ayam yang dilengkapi dengan tepung terigu berbumbu dan tinggal menggoreng saja. 

 Ide ayam olahan inipun sebenarnya tidak muncul begitu saja. “Ketika itu ada seorang teman yang mempunyai talenta meramu tetapi tidak cakap dalam menjual, kemudian saya mengajak kerjasama dengan talenta masing-masing” kenang mantan karyawan perusahaan distribusi terkemuka ini.
 Mulailah mareka membuka dengan satu outlet, kemudian karena banyak teman dan relasi yang berminat bergabung, mulailah berkembang beberapa outlet. “Pemikiran waktu itu sebenarnya ingin membantu meringankan beban teman-teman yang terkena PHK untuk bisa ikutan berjualan. 

 Ternyata lama kelamaan usaha itu disambut baik oleh masyarakat, sehingga mau tidak mau sudah harus dikelola secara lebih profesional. Maka dibuatlah sistem kerjasama kemitraan layaknya sebuah  usaha waralaba atau franchise, walaupun Syamsalis lebih menganggap usahanya ini sebagai sistem Business Opportunity (BO), karena masih belum sepenuhnya menerapkan kriteria sebagai franchise. “Sistem yang diterapkan di sini sebenarnya sederhana saja, sehingga tidak memberatkan mitra

 Disebutkannya bahwa sistem yang diterapkan saat ini sangat sederhana, nilai investasinyapun relatif tidak terlalu besar dan sangat terjangkau, karena tidak ada royalti fee, franchise fee, bahkan mitra tidak perlu harus membuat laporan keuangan kepada manajemen Sabana. 

Para mitra cukup dengan beli putus di stok poin (mitra distribusi) yang ditunjuk, kemudian dagang, dapat uang untuk kemudian dibelanjakan lagi dengan harga yang relatif murah dan stabil karena tidak ada macam-macam fee. Semua sudah disiapkan, mulai dari ayam, tepung bumbu, minyak goreng sampai sambal saosnya semuanya standar, mereka tinggal aduk tepung ayamnya di outlet digoreng lalu dijual. Sederhana sekali. Dengan cara yang cukup praktis dan sederhana seperti ini, nampaknya siapapun bisa ikut bergabung.
Walaupun demikian untuk menjadi mitra tetap harus melalui proses pendaftaran di manajemen pusat Sabana. Kemudian mereka disurvey untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai kelayakan usahanya, terutama jangan sampai mengganggu mitra yang sudah ada. Baru setelah itu mereka direkomendasikan untuk melakukan transaksi di stok poin yang ditunjuk. Berdasarkan perhitungan, seorang mitra dapat mencapai BEP dengan target minimum 10 ekor ayam atau dapat mencapai omset minimal Rp 500 ribu per harinya dalam waktu sekitar 7 bulan.

Mengenai harga baik dari stok poin ke mitra maupun mitra ke konsumen dijamin sama untuk seluruh Indonesia, karena manajemen Sabana bertanggungjawab menahan jika terjadi lonjakan harga bahan baku. Sehingga di tengah ketatnya persaingan mereka masih bisa eksis.

Hubungan Sabana dengan stok poin pun sifatnya dagang, yaitu jual beli putus, yang walaupun kepada mereka ada beberapa kebijakan fee khusus. Untuk menjaga hubungan usaha yang baik, stok poin tidak boleh melayani di luar mitra yang sudah terdaftar. Jika satu stok poin sudah mencapai 250 – 300 ekor, maka akan dibuka stok poin baru.
 Perusahaan dengan total konsumsi 120 bal terigu Lencana Merah setiap harinya itu, kini sudah mengantongi sertifikatm halal dari MUI, dan mendaftarakan merek dagangnya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI),  Kemenkumha RI.





Daftar Pustaka : 













Brownies Amanda




Brownies ini disebut salah satu oleh-oleh khas Bandung karena makanan ini pertama kali hadir dan didirikan di Bandung. Brownies Amanda mempunyai cita rasa yang empuk dan manis dengan adonan sangat sesuai serta mutu dan kualitas yang senantiasa terjamin. Itulah ciri khas dari Amanda Brownies yang membuat konsumen tergiur ingin selalu membelinya.

Ny. Sumiwiludjeng, ialah orang dibalik suksesnya kue brownies kukus Amanda. Wanita yang kini berusia 69 tahun ini adalah perantau di tanah pasundan.  Kesuksesannya didapat berkat kerja kerasnya. Dia terkenal ulet serta kreatif membidik selera warga tempatnya tinggal. Banyak orang akan mengira pemilik brownies kukus lezat tersebut si Amanda sendiri. Tetapi ternyata, nama tersebut adalah sebuah singkatan "Anak Mantu Damai", itulah harapan terhadap ke empat anaknya nanti; Joko Ervianto, Andi Darmansyah , Sugeng Cahyono, dan juga Rizka Kurniawan, yang diharapkan rukun selalu. Wanita kelahiran Jombang, Jawa Timur, 1 Agustus 1940 ini, menyebut brownies miliknya memang berbeda yaitu dikukus meski sama- sama terbuat dari coklat.

Bukan berlatar belakang pebisnis, ia hanya mengikuti suami untuk hijrah ke kota Bandung. Suaminya merupakan pegawai PT. Pos Indonesia, membuat keluarganya selalu berpindah-pindah. Awalnya, ia dipindah tugaskan ke Bogor selama tujuh tahun, lalu terakhir kembali ke kota Bandung lagi. "Itu setelah lulus Akademi Pos, Telephon, dan Telegram (PTT) dan menikah pada 1964. Setelah itu pindah ke Bandung, Magelang, dan saat akan pensiun kembali lagi dinas di Bandung." ungkapnya. Di setiap tempat keluarganya ditempatkan, Bu Sum selalu membuka bisnis kecil yaitu membuat kue. "Usaha kue ini saya dirikan sebenarnya agar bekal ilmu yang saya peroleh dari sekolah jurusan tata boga tidak sia-sia. Tetapi karena tinggalnya tidak pernah lama, maka tak bisa besar. 

Setiap mau besar, eh bapak dimutasi." kenang nenek enam cucu ini. Usaha ini berawal pada tahun 1999, beliau dan salah seorang mantunya yang juga hobi masak, mencoba sebuah resep bolu kukus coklat yang mereka dapat dari seorang kolega. Berkat keahlian mereka, mereka malah menemukan resep brownies kukus. Menemukan resep brownies yang unik, ketika itu brownies biasanya dimasak dengan cara dipanggang, membuat ibu Sumi tertarik menjualnya. Penjualan pun dimulai, putranya lah yang mencoba memasarkan produknya ke tetangga dan ke kolega mereka. Pada tahun 2000 Ibu Sumi dan anak mantunya tadi sepakat membuka sebuah kios kecil di kawasan Metro Bandung. Namun musibah datang, toko mereka kebakaran. Hal ini memaksa ibu Sumi memindah tokonya ke daerah Tata Surya Bandung.

 Meski harus mengalami ujian berat, mereka pantang menyerah. Malah usaha mereka semakin sukses. Yang ada justru sering kali pelanggan harus kecewa karena kehabisan brownies. Melihat perkembangan situasi, pada tahun 2002, Mereka mulai menjalankan usaha ini dengan lebih serius. Membuka toko yang lebih besar di daerah Rancabolang. Kemudian juga mematenkan produk brownies kukusnya dengan nama Brownies Amanda. Kini, wanita yang justru tak mau cucunya bernama Amanda ini telah berinovasi hingga memiliki 20 varian rasa brownies dan memiliki 19 cabang serta pabrik pembuatan kue di wilayah Bandung, Surabaya, Jogjakarta, dan Medan, memiliki 470 orang karyawan. Pabrik tersebut disiapkan guna mensuplai kebutuhan di setiap toko- tokonya. Jarak pabrik dan toko pun sudah benar- benar diperhitungkan matang yakni empat jam perjalanan ke toko di pusat perkotaan.




Daftar Pustaka :










Yongki Komaladi


Sepatu, alas kaki ini sudah menjadi kebutuhan tiap orang. Sepatu digunakan untuk acara formal, pesta dan kegiatan lainnya. Sepatu juga menjadi penunjang penampilan selain busana yang dikenakan. Banyak brand sepatu berkualitas dari luar negeri, meskipun demikian kita juga punya banyak brand nasional yang berkualitas. Termasuk salah satunya adalah sepatu Yongki Komaladi.

Yongki Komaladi lahir di Jakarta pada tanggal 18 Agustus, anak dari pasangan Liauw A Ho dan Kwok Pit Tjong ini hampir memiliki 19 saudara kandung, namun ibunya keguguran lima kali. Maka ia adlahanak ke-14 dari 15 bersaudara. Yongki mempunyai 7 kakak laki-laki dan 6 kakak perempuan juga seorang adik perempuan. Nama asli Yongki adalah Kwok Joen Sian. Saat kecil ia dipanggil Ayin. Dulu setiap keluar rumah, ia suka sekali memakai gelang emas milik kakaknya yang bertuliskan nama sang kakak, Yongki. Akhirnya, teman-temannya memanggilnya Yongki. Jadilah nama itu melekat pada dirinya. Dengan tujuan agar memiliki pembeda dengan Yongki lainnya, ia menambahkan Komaladi sebagai pelengkap.

Yongki kecil tinggal di rumahnya di kawasan Bilangan, Jakarta Pusat. Yongki belajar formal di SD Petojo, SMP PAX Kemakmuran, dan SMU Katolik Ricci. Saat kecil, orangtuanya terbilang kaya dengan usaha keluarga yang bergerak di bidang bahan baku bangunan. Tamat SMU tahun 1976-1977 Yongki sekolah lagi ke Singapura, di Swiss Cottage Secondary School dan Stamford College Singapore. Di sana Yongki belajar dan mendalami ilmu bisnis manajemen. Saat belajar di Singapura, ibunya meninggal dunia. Sekolah di Singapura terpaksa tak diteruskan. Sejak ibunya tidak ada, ia merasa semuanya berubah. Kakak-kakaknya sibuk dengan urusan mereka masing-masing karena mereka sudah beranjak dewasa dan menikah. Ia merasa, tak ada yang memperhatikannya lagi seperti Ibunya. Kembali ke Jakarta, ia menata cita-citanya lagi.
Selepas ibunya meninggal, Yongki memiliki orang tua angkat. Orang tua angkatnya memiliki butik eksklusif di kawasan bilangan Duta Merlin, Jakarta. Butik tersebut menjual barang-barang bermerek internasional dari Italia juga Prancis.Tahun tersebut merupakan awal mula masuknya produk fashion impor di Jakarta. Banyak pejabat, artis, dan tokoh terkenal yang belanja ke butik milik orang tua angkatnya. Ia pun ditawari pekerjaan sebagai penjaga butik. Tahun 1977 menjadi momentum pertama kali ia bekerja di butik. Ia dituntut untuk dapat menghadapi para pembeli dari kalangan atas. Dan dari sanalah nasib mempertemukan Yongki dengan dunia model. 

Model pertama yang ia jajal adalah model kacamata. Kala itu ada pengunjung yang juga bekerja di Optik Oculus. Ia meminta Yongki menjadi model berdampingan dengan Ray Sahetapi. Setelah itu Yongki memperoleh kesempatan berjalan di catwalk. Bersama dengan Pierre Bruno, Yongki memeragakan busana milik seorang designer. Saat itu ia berumur 25 tahun. Untuk memperdalam dunia modeling Yongki sempat kursus dengan Rudy Wowor. Selang beberapa saat, ia mendapat tawaran fashion show di Taman Ismail Marzuki. Dari sanalah karirnya berkembang. Ia pernah memperagakan busana rancangan (Alm.) Irwan Tirta, Poppy Dharsono, Prayudi, juga Itang Yunazs. Yongki pernah tur ke Asia dan Eropa bersama para desainer. Selain fashion show, ia juga melakukan pemotretan. Sebagai usaha sampingan ia juga menjadi asisten-asisten para designer saat di luar negeri. Ia juga pernah bermain film dan sinetron, salah satunya Cinta Dibalik Noda bersama Meriam Belina dan Titi Dj. Sepuluh tahun sudah Yongki menjalani dunia modelling. Ia pun mulai berpikir bahwa dunia model tak bisa digeluti untuk jangka panjang.

Saat umurnya mencapai kepala 3 pada 1990, untuk mengantisipasi kalau nanti sudah tak laku lagi, Yongki pun banting setir. Karena hubungan yang baik dan pengalaman yang relevan, Yongki bekerja di pusat perbelanjaan Ramayana dan Borobudur. Yongki mundur perlahan-lahan dari dunia model. Dengan tetap menjalani fashion show, Ia menjalani hari sebagai Chief Merchandiser yang fungsinya mengatur pengembalian produk-produk busana. Karena gatal ingin berkarya, ia menuangkan jiwa seninya dengan mendesain batik-batik lawas yang disulap jadi trendi, juga kemeja dari potongan berbagai bahan yang dikombinasikan. Model pakaian tadi sangat populer ketika itu. Ia pun melibatkan diri secara total di bagian desain, promosi, foto produk, dan sebagainya.

Suatu saat, atasannya di pusat perbelanjaan mengeluhkan kurangnya produk sepatu yang akan dijual. Dengan latar belakang Yongki di dunia fashion, Yongki ditawari mendesain dan juga membuat sepatu. Yongki berfikir hal itu menjadi kesempatan bagus untuk dicoba dan didalami. Atasannya minta nama Yongki untuk nama merk sepatunya. Walau awalnya terkesan tidak percaya diri dan juga narsis. Namun, karena terlanjur sudah menerima tawaran tersebut, Yongki membulatkan tekad untuk mulai mendesain sepatu dengan merk Yongki Komaladi. Dari sinilah embrio bisnis sepatu Yongki Komaladi bermula. Tanpa background di bidang design dan pembuatan sepatu, Yongki memulai usaha sepatu ini dengan modal kegigihannya dalam belajar otodidak.

 Nama Yongki Komaladi sempat mendapatkan cemoohan sebab dianggap terlalu sulit dalam hal pengejaannya dan kurang komersil. Yongki mengaku sebelum membuat sepatu, ia melakukan riset pasar terlebih dulu. Perubahan di lingkungan masyarakat selalu diupdate untuk membuat rancangan sepatunya. Tawaran kolaborasi dari perancang busana pun mulai mengalir karena sepatu Yongki dikenal simple dan aktual. Perancang busana seperti Adrian Gan, Susan Budihardjo atau Sebastian Gunawan telah menggunakan sepatu Yongki Komaladi sebagai pelengkap rancangan busana mereka. Usahanya pun kini tergolong sukses. Dibalik kesuksesannya Yongki seringkali mengikuti beragam show. Bahkan Yongki juga membina 80 lebih UKM di Indonesia. Yongki berharap UMKM di Indonesia mempunyai produk berkualitas yang produknya mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tak lagi mengandalkan produk asing. Bicara masalah tren di masyarakat, Yongki melihat bahwa perubahan yang sangat dinamis dialami di kehidupan masyarakat saat ini.

 Gaya hidup masyarakat yang telah mengikuti perkembangan teknologi diakui menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan tren sepatu dengan sangat cepat. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pengusaha sepatu. Pengusaha harus mampu menciptakan design yang sesuai dengan calon pembeli. Seperti saat lingkungan calon pembeli alias para masyarakat mengenal dunia yang simple maka design sepatu bisa dibuat simple. 

Sebaliknya saat masyarakat gemar dengan warna warna berani dengan konsep tabrak warna maka pengusaha sepatu harus bisa menghadirkan sepatu yang berwarna warna berani, seperti jingga, fuchsia, ungu, biru dan grey. Kini selain sepatu, entah sepatu anak-anak yang dibeli label Yongkids dan untuk kalangan dewasa, Yongki Komaladi juga menghadirkan produk tas. Ada banyak pilihan dan model yang bisa dijadikan koleksi. Sepatu Yongki Komaladi ini bisa anda temui di tokonya yang tersebar di Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya dan kota lain di Indonesia.
Dan seperti apa yang diungkapkannya, seorang yang terjun di bisnis sepatu harus selalu mengikuti perkembangan jaman untuk tau apa yang diminati para konsumen.




Daftar pustaka : 












Warung Nagih (WARGIH)



Jakarta tidak harus fine dining atau kuliner tradisional dengan cita rasa yang khas. Sebuah warung makan dengan menu biasa, bisa menjadi legenda.
Malam untuk membuktikan keistimewaan tempat nongkrong yang juga membuka cabang di wilayah Bogor. Suasana saat itu sudah ramai dengan para pengunjung, rata-rata yang datang masih muda, seumuran anak kuliah.

Target pasar kita memang anak-anak nongkrong, yang masih kuliah sama first jobber, alias orang yang baru pertama kerja. Kebanyakan dari sekitar wilayah sini, ada juga yang jauh-jauh dari Jakarta Utara juga pernah, banyak deh.

Gunawan pun menceritakan sejarah awal mula berdirinya Warung Nagih. Semua itu berawal dari kebiasaan mereka nongkrong bareng karena pendirinya merupakan teman satu SMA. Dari kebiasaan jajan dan nongkrong itulah yang membuat mereka memiliki ide untuk membuka warung sendiri, serta memberi nama Warung Nagih.

Kita start 15 Maret 2012, kemudian pindah ke Tendean sekitar akhir tahun 2012. Kita bikin Warung Nagih karena pengen merubah mindset warung yang semula kotor, menjadi bersih dan enak buat nongkrong. Kenapa Warung Nagih? Karena kita pengen yang datang ke sini selalu ketagihan dan terus balik lagi
Zaman dulu, sebelum pindah ke lokasi sekarang, Warung Nagih masih berupa gerobak kaki lima dengan 2 buah meja saja, dan 2 orang karyawan. Kini, Warung Nagih sudah menempati lahan yang cukup luas dan jumlah karyawan mencapai 60 orang. Keunggulan Warung Nagih terletak pada variasi menunya yang bisa terbilang sangat banyak, mulai dari roti bakar, pisang, roti maryam, hingga kini merambah ke pasta dan akhir tahun nanti pizza.

Bisa dibilang, kita ini pelopor roti bakar dengan aneka toppng, sebelum semuanya ngetrend dan ikutan. Dulu kita sudah bikin roti bakar dengan topping silverqueen, coklat herseys, honey star, macam-macam pokoknya. Menu yang variatif ini mengikuti selera dari pengunjung yang kebanyakan anak muda dan cenderung gampang bosan. Setidaknya setiap 3 bulan sekali, Warung Nagih akan meluncurkan menu baru untuk para pengunjungnya.
 

Untuk minuman, variasinya juga tak kalah banyak. Harganya pun mulai dari belasan ribu rupiah untuk hidangan roti bakar yang standar, untuk setiap topping berbeda dikenai tambahan harga. Semakin banyak topping yang dipilih, maka harganya semakin mahal. Untuk minumannya ada yang di bawah Rp 10.000, ada pula yang di atas itu, cukup terjangkau.

Cewek-cewek sih sukanya Green Tea, Taro, Thai Tea. Pernah nih ada temen orang bule, pertama kalinya nyobain Taro. Besoknya minta dibungkusin buat dibawa pulang ke bandara. Kalau yang cowok-cowok sih sukanya yang simpel, Teh kalau nggak Milo.
Traveler yang penasaran ingin mencoba, silakan datang ke Jl Tendean Kav 41, Jaksel, lokasinya tepat sebelum fly over. Jam bukanya mulai pukul 16.00 WIB hingga tutup sampai tengah malam. Sebaiknya Anda datang lebih awal, jika tidak ingin antre dalam waiting list karena pengunjungnya sangat banyak setiap harinya.


Daftar Pustaka :












Ayam Bakar Mas Mono




Menjadi office boy, tukang gorengan dan sales adalah sederet pekerjaan masa lalu Agus Pramono yang akrab dipanggil Mas Mono ini. Bisnis ayam bakar yang dirintisnya di tahun 2001 tak disangka meledak di pasaran. Kini, setidaknya ia telah memiliki 20 cabang dengan omset puluhan juta per hari serta melego franchisenya seharga 500 juta rupiah.

Cukup sulit membayangkan masa lalu Mas Mono yang kini telah menjelma menjadi seorang milyarder. Betapa tidak, belasan tahun yang lalu ia masih harus menjalani hidup sebagai OB disebuah perusahaan. Bosan menjadi OB perlahan ia menata hidupnya menjadi pengasong gorengan dari SD ke SD, dari kompleks ke kompleks dengan berjalan kaki. “Ya, itulah masa lalu saya. Disaat saya menjadi OB, bapak saya di desa meninggal. Saya tak bisa pulang karena tak ada uang. Itu tamparan keras bagi saya. Dari situlah, akhirnya saya putuskan untuk keluar kerja,” kisah pria kelahiran Madiun, 28 Agustus 1974 ini pelan.

Putus kerja tapi hidup harus terus dilakukan, dengan modal seadanya ia mulai meniti hidup dengan menjaja gorengan dari SD ke SD. Cukup lama ia melakoni profesi itu sampai akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk mangkal. “Saya sewa tuh lahan, karena jual gorengan tidak maksimal untungnya hanya 15 ribuann per hari, saya beralih ke ayam bakar,” tuturnya. Dengan modal 500 ribu rupiah, ia mulai berjualan 5 ekor ayam perhari.


Wangi kepulan asap dari ayam bakarnya ternyata mampu menyedot pelanggan. Dari hari ke hari, pelanggannya makin berlimpah. Bahkan, Mas Mono pun akhirnya mampu menghabiskan 80 ekor ayam per hari. “Saya punya tempat mangkal pun itu anugrah terindah. Saya serasa punya kantor sendiri, tidak harus mengasong lagi. Alhamdulillah saya dikasih lebih, dari 5 ekor meningkat menjadi 10 ekor, begitu seterusnya hingga mampu menjual ayam bakar 80 ekor per hari atau sekitar 380 potong. Dengan kondisi tempat masih di kaki lima itu sebuah pencapaian yang luar biasa!” Ungkapnya.

Bencana Penggusuran

Naas bagi Mas Mono, disaat bisnisnya sedang menanjak dan naik daun, bencana penggusuran pun melanda. Ia dipaksa hengkang dari tempat mangkalnya. “Saat itu saya benar-benar kelimpungan, bingung. Bagaimana tidak, di saat yang sama, bisnis penjualan saya tengah laris-larisnya. Saya harus pindah kemana, bagaimana dengan nasib 6 karyawan saya. Sebelum penggusuran itu tiba, saya terus tanya-tanya lokasi ke setiap pembeli yang mampir, hingga akhirnya seorang pelanggan menunjukkan tempat di Tebet,” beber ayah yang memiliki anak semata wayang bernama Novieta ini.

Di Tebet, kebingungan pun belum juga reda. Ia dihadapkan pada persoalan baru, lokasi yang tidak strategis. Pria penyuka rujak cingur ini harus menata ulang lagi bisnisnya. Dengan lokasi yang mojok dan tersembunyi itu, ia harus berjuang agar pelanggan kembali ramai.

Tak jarang iapun mengajak bekas pelanggannya ditempat dulu untuk mampir ke lokasi barunya. Hasilnya, pelan tapi pasti berkat kegigihannya dan perjuangannya, pelanggan pun terus berjejalan. “Itulah dinamikanya. Saat ini, Alhamdulillah saya bisa menyewa tempat yang lebih besar. Bahkan, karena banyaknya pelanggan hingga makan pun harus antre, saya juga membuka cabang baru di tempat yang tidak terlalu jauh,” ujar suami dari Nunung ini.

Rupanya ujian belum selesai juga menimpa dirinya. Di babak kedua dari kebangkitan bisnisnya itu, flu burung menerjang, memborbardir omsetnya. “Dengan merajalelanya flu burung, spontan penjualan pun merosot dan sepi. Dari situ saya terus belajar untuk syukur nikmat hingga cobaan itupun berlalu,” ucap pria yang kini telah mematenkan brand Mas Mono dibawah payung Panen Raya Indonesia itu.

20 Cabang, Ribuan Ekor per Hari

Setelah hampir 10 tahun berlalu, akhirnya sukses pun menghampiri. Dari satu cabang yang didirikannya kini sudah beranak pinak menjadi 20 cabang yang tersebar dibeberapa wilayah di Jabodetabek seperti Kalimalang, Pondok Gede, Ciputat, Cileduk, dan daerah lainnya. Diakuinya, satu hari di setiap cabangnya bisa menghabiskan sekitar 150-200 ekor ayam. “Tempatnyapun sudah kami tata menjadi tradisional modern. Bahkan saya bercita-cita ingin menjadikan ayam bakar ini market leader di dunia kuliner,” harapnya.

Mengenai omset, jangan ditanya. Di setiap cabangnya per hari mampu meraup untung hingga 8 jutaan. Sukses dengann ayam bakar, Mas Mono pun merangsek ke bisnis lainnya seperti bakso, catering, travel umroh dan haji dan lain-lain. “Karena saya mengambil segmen semua lapisan masyarakat, jadi tempat saya bisa disinggahi siapapun. Sehari ya bisa 200 orangan yang berkunjung. Harganya juga cukup murah, hanya 13 ribuan per porsi,” jelas pria yang kini telah memiliki 400 karyawan ini.



Bahkan bisnis ayam bakar yang dikelolanya kini sudah dikembangkan ke franchise. Dalam waktu singkat, iapun berencana akan mengembangkan konsep franchisenya ke berbagai daerah bahkan menembus pasar internasional. “ Untuk sementara, saya fokuskan untuk menggempur Jakarta saja dulu. Kedepan saya akan kembangkan lagi ke berbagai wilayah. Karena saat ini bagi saya kompetitor itu bukan lagi penjual ayam sejenis melainkan seperti KFC dan lainnya,’ imbuh pria yang menjual franchise-nya seharga 500 jutaan dan telah menyabet berbagai penghargaan itu.




Daftar Pustaka :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar